Salah satu etika terhadap Al quran adalah Selalu bersama Al Quran, sehingga Al Quran tidak hilang dari ingatannya.Yaitu dengan terus membacanya dari hapalannya, atau dengan membaca mushaf, atau juga dengan mendengarkan pembaca yang bagus, dari radio atau kaset rekaman para qari yang terkenal. Berkat ni`mat Allah SWT, di beberapa negara Islam terdapat siaran Al Quran al Karim, yang memberikan perhatian pada pembacaan Al Quran, tajwidnya serta tafsirnya.
Dari Ibnu Umar r.a.: bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda:
“Perumpamaan orang yang hapal Al Quran adalah seperti pemilik unta yang terikat, jika ia terus menjaganya maka ia dapat terus memegangnya, dan jika ia lepaskan maka ia akan segera hilang.” Hadits diriwayaktan oleh Bukhari dan Muslim. Dan Muslim menambah dalam riwayatnya: “Jika ia menjaganya, dan membacanya pada malam dan siang hari, maka ia dapat terus mengingatnya, sedangkan jika tidak, maka ia akan melupakannya”[1].
Makna “al mu`aqqalah” adalah: terikat dengan tambang, yaitu tambang yang dipegang karena takut terlepas. Dan pluralnya adalah `uqul. Dari Abdullah bin Mas`ud r.a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Amat buruk orang yang berkata: “Aku telah melupakan hapalan ayat ini dan ayat itu, namun sebenarnya ia dilupakan. Terus ulang-ulanglah hapalan Al Quran, karena ia lebih cepat pergi dari dada manusia, dari perginya unta dari ikatannya”[2]. Makna kata “nussia“ adalah: Allah SWT yang membuatnya lupa, sebagai hukuman terhadap kesalahan yang ia lakukan.
Dari Abi Musa al Asy`ari r.a. dari Nabi Saw bersabda:
“ Teruslah jaga hapalan Al Quran, karena Dzat yang jiwa Muhammad berada dalam genggaman-Nya, ia lebih cepat lepas dari lepasnya unta dari ikatannya.” Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dan riwayat Bukhari dengan kata “asyaddu tafashshian” [3].
Penghapal Al Quran harus menjadikan Al Quran sebagai temannya dalam kesendiriannya, serta penghiburnya dalam kegelisahannya, sehingga ia tidak berkurang dari hapalannya. Qasim bin Abdurrahman berkata: Aku bertanya kepada sebagian kaum sufi: tidak ada seorangpun yang menjadi teman kesepianmu di sini? Ia mengulurkan tangannya ke mushaf, dan meletakkannya di atas batu dan berkata: inilah temah kesepianku!
As Suyuthi berbicara tentang hukum melupakan Al Quran, ia berkata: melupakan hapalan Al Quran adalah dosa besar, seperti dikatakan oleh An Nawawi dalam kitab “Ar Raudhah” dan ulama lainnya. Dengan dalil hadits Abi Daud:
“Dosa-dosa umatku diperlihatkan kepadaku, dan aku tidak dapati dosa yang lebih besar dari dosa seseorang yang diberi ni`mat hapal Al Quran atau suatu ayat, kemudian ia melupakannya”[4].
Dan ia meriwayatkan pula hadits:
“Siapa yang membaca (hapal) Al Quran namun kemudian melupakannya, maka ia akan bertemu Allah SWT pada hari kiamat dalam keadaan terserang penyakit sopak”[5]. Demikian pula hadits Ibnu Mas`ud dan Abi Musa sebelumnya. Sedangkan hadits Abi Daud yang pertama, diriwayatkan oleh Tirmizi, dan ia berkata: hadits itu gharib (atau dha`if).
Dan ketika Imam Bukhari ditunjukkan hadits itu, ia tidak mengetahuinya dan melihatnya hadits yang gharib[6]. Sedangkan hadits kedua dikomentari oleh Al Munziri: dalam sanadnya adalah Yazid bin Abi Ziyad, ia tidak dapat dijadikan hujjah, dan ia juga munqathi`[7].
Jika hadits-hadits yang dijadikan landasan orang yang mengatakan bahwa melupakan Al Quran adalah dosa besar, telah jelas kelemahannya, maka yang tersisa adalah celaan terhadap tindakan melupakan Al Quran itu. Karena sang penghapal itu jarang mengulangnya, namun tidak sampai kepada keharaman, apalagi menjadi dosa besar.
Namun yang paling kuat adalah, ia merupakan perkara yang makruh dengan sangat. Dan tidak pantas bagi seorang Muslim yang memiliki perbendaharaan hapalan Al Quran yang amat berharga ini menyia-nyiakannya, hingga hilang darinya. Yang membuat kami mengatakan hal ini adalah: kami takut (ancaman dosa besar) ini membuat orang enggan menghapal Al Quran, karena ia mempunyai kemungkinan melupakan.
Sumber : milist Majelisrasulullah
[1] Lihat: Al Lu’lu wa al Marjan (452). Juga Al Muntaqa min at Targhib wa at Tarhib, dan hadits (794).
[2] Lihat: Al Lu’lu wa al Marjaan (453), juga al Muntaqa. Hadits (795).
[3] Lihat: Al Lu’lu wa al Marjan (454).
[4] Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud (461).
[5] Hadits diriwayatkan oleh oleh Abu Daud dalam Ash Shalat (1744), dengan lafazh yang sama: bab At Tasydid fi man
Hafazha al Quran tsumma nasiahu.
[6] At Tirmizi mengutip dari Al Bukhari: bahwa Al Muthallib bin Abdullah bin Hanthab –perawi hadits—tidak mendengar
langsung dari seorang sahabatpun. Dan seterusnya. Lihat: hadits non (2917), dalam Tirmizi, dan hadits no. (461)
dalam Abi Daud. Ibnu Jauzi menyebutnya dalam Al `Ilal al Mutanahiah, dengan no. (158). Dikutip dari Ad Daruquthni:
bahwa hadits itu tidak tsabit (tidak kuat) karena Ibnu Juraij tidak mendengar sesuatupun dari Al Muthallib (juz
1/109). Al Munziri juga mengatakan bahwa dalam sanadnya ada Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abi Ruwad, yang dinilai
kuat oleh Yahya bin Ma`in serta diperselisihkan oleh banyak orang. Mukhtashar as Sunan. Hadits 433 (1/259).
[7] Mukhtashar as Sunan. Hadits 1422 (juz 2/139).
No comments:
Post a Comment
Tolong untuk memberikan komen yang sesuai dengan artikel terkait, apabila komen tersebut tidak sesuai dengan artikel maka mohon maaf komen tersebut akan saya hapus. Terimakasih